Senin, 01 November 2010

Inilah Tata Cara Agar menjadi Haji Yang Mabrur

. Senin, 01 November 2010 .

MABRUR BUKAN DI MAKKAH DAN MADINAH

Drs. H. Ahmad Yani


Ketika ada teman, jamaah dan keluarga kita menunaikan ibadah haji, do’a dan harapan yang kita panjatkan adalah semoga yang bersangkutan menjadi haji yang mabrur. Harapan ini didasari pada besarnya nilai keutamaan dari haji yang mabrur, yakni jaminan surga dari Allah swt dan Rasul-Nya. Secara harfiyah, mabrur artinya baik. Haji yang mabrur berarti haji yang membuat orang yang menunaikannya menjadi baik bila sebelumnya ia orang yang tidak baik dan bila ia sudah baik akan bertambah kebaikannya yang tidak hanya dirasakan oleh diri dan keluarganya tapi juga oleh masyarakat banyak. Ini berarti, Seorang haji disebut mabrur hajinya bila kehidupannya sesudah menunaikan ibadah itu semakin baik.

Oleh karena itu, seorang haji disebut memperoleh haji yang mabrur tidak hanya diukur dari pelaksanaan ibadah yang baik dan benar dari aspek fiqih saat di Tanah suci dengan segala rangkaiannya, tapi justeru tantangan pembuktiannya adalah sesudah ia melaksanakan ibadah itu setelah kembali ke Tanah Air masing-masing hingga mencapai kematian, apalagi ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup.

Untuk mengukur apakah seseorang betul-betul memperoleh haji yang mabrur, paling tidak diantara tolok ukurnya ada lima hal.

1. Dekat Kepada Allah.

Pergi haji adalah perjalanan menuju Baitullah, para jamaah begitu antusias untuk kembali kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, bila seorang haji meraih haji yang mabrur seharusnya ia selalu merasa dekat kepada Allah swt. Kedekatannya kepada Allah membuatnya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan-Nya. Kearah itu, seorang haji telah memulai hajinya dengan berihram yang berarti pengharaman dan mengakhirinya dengan tahallul yang berarti penghalalan, Ini berarti seorang haji sebagai bukti kedekatannya kepada Allah swt siap meninggalkan segala yang diharamkan dan hanya mau melakukan sesuatu bila memang dihalalkan oleh Allah swt. Halal dan haram, haq dan bathil merupakan sikap dan prilaku yang tidak akan dicampur-campur dalam kepribadian seorang muslim, Allah swt berfirman: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui. (QS 2:42)

2. Berakhlak Mulia.

Seorang haji telah berinteraksi dengan manusia yang jumlahnya begitu banyak dari segala penjuru dunia dengan bahasa, warna kulit dan kebiasaan yang berlainan. Dari sini, kita sadari bahwa kemuliaan manusia bukan karena bahasa, warna kulit atau postur tubuhnya, tapi pada ketaqwaan yang dicerminkan dengan akhlak yang mulia. Ketika seorang haji memakai pakaian ihram yang hanya terdiri dari dua helai kain putih dan tidak beda dengan kain kafan, lepas pula pakaian lain yang kadangkala membuat manusia menjadi sombong, keberhasilan ibadah haji akan membuat seorang haji meninggalkan hal-hal yang keji dan amat bertentangan dengan akhlak yang Islami, dalam kaitan itu pula, Allah swt berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats [mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal (QS 2:197).

3. Berkorban Untuk Kebaikan.

Tidak ada jamaah haji yang bisa melaksanakan ibadah ini kecuali dengan pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, harta sampai nyawa sekalipun. Meskipun ada jamaah haji yang bisa menunaikan ibadah ini dengan biaya dinas atau dibiayai pihak lain, ia tetap harus berkorban dengan pengorbanan lain seperti yang sudah disebutkan di atas. Ini berarti, bukti haji mabrur adalah seseorang mau dan selalu siap berkorban dengan apa yang dimilikinya untuk tegaknya nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah swt.

Dalam hal apapun, haq maupun bathil manusia harus berkorban, bila untuk yang bathil saja manusia mau berkorban, mengapa untuk yang haq kita tidak mau berkorban. Karena itu, ibadah haji dan hari raya Idul Adha mengingatkan dan mengokohkan semangat pengorbanan kita dalam kebaikan, karenanya apapun yang kita miliki jangan sampai membuat kita lupa kepada Allah swt, bila ini yang terjadi kita hanya akan mengalami kerugian di dunia dan akhirat, Allah swt berfirman: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS 63:9).

4. Memakmurkan Masjid.

Pusat ibadah haji adalah masjid, yakni masjid Al Haram, bahkan meskipun bukan merupakan bagian dari ibadah haji, para jamaah mendapat dan menyempatkan diri dengan penuh kesungguhan untuk beribadah di Madinah yang berpusat di Masjid Nabawi, mereka dengan penuh antusias melaksanakan shalat berjamaah yang lima waktu sebanyak 40 waktu di masjid Nabawi, mereka juga antusias melaksanakan shalat berjamaah di Masjid Al Haram, bahkan mereka menunggu datangnya waktu shalat. Keutamaan shalat apalago dengan cara berjamaah di kedua masjid ini memang memiliki keutamaan yang amat besar. Namun antusiasnya umat Islam dari berbagai negara di dunia dalam melaksanakan shalat berjamaah di masjid Al Haram dan Masjid Nabawi seperti itu bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana seorang haji bisa menunjukkan hasilnya dengan rajin shalat berjamaah di masjid yang berada di lingkungannya masing-masing.

Karena itu, amat disayangkan bila seorang haji, khususnya yang laki-laki setelah kembali ke kampung halamannya justeru tetap saja tidak nampak di masjid dalam shalat berjamaah, apalagi dalam aktivitas lainnya yang sebenarnya amat menuntut partisipasi mereka secara aktif, dan yang lebih tragis lagi adalah bila ada seorang haji yang sama sekali merasa tidak perlu melaksanakan shalat karena dengan rajin shalat di kedua masjid Makkah dan Madinah itu ia merasa sudah mendapat pahala yang begitu banyak, lebih dari cukup, padahal sebesar-besarnya, setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya keutamaan yang diberikan Allah swt tidak akan menggugurkan kewajiban yang harus kita tunaikan, inilah rumus yang harus kita pahami dengan baik.

5. Bergerak dan Berjuang.

Ibadah haji merupakan ibadah bergerak, para jamaah memang selalu bergerak bahkan sejak sebelum berangkat ke Tanah suci. Para jamaah sudah banyak bergerak sejak sebelum berangkat dengan latihan berjalan yang banyak, pada saatnya bergerak ke asrama haji, terus ke bandara, pesawat segera diberangkatkan ke bandara King Abd. Aziz Jedah, terus ke Madinah, Ke Makkah, tawaf, sa’i, mabit di Muzdalifah, melontar dan mabit di Mina hingga tawaf ifadhah dan tawaf wada dan akhirnya kembali ke bergerak lagi menuju Tanah Air masing-masing. Pergerakan jamaah haji masih dilanjutkan dengan melihat dan berziarah ke tempat-tempat bersejarah dalam konteks perjuangan para Nabi, khususnya Nabi Ibrahim, Ismail dan Nabi Muhammad saw.

Manakala seseorang meraih haji yang mabrur, semua itu seharusnya bisa membuatnya mau bergerak dan terus bergerak dalam upaya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kebenaran Islam hingga mencapai kematiannya. Karena itu, seorang haji yang mabrur idealnya menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang memperbaiki keadaan diri, keluarga dan masyarakatnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Seorang haji juga akan terus bergerak untuk mencari nafkah yang halal dan harta yang diraihnya itu akan selalu digunakannya untuk segala kebaikan, termasuk mendanai perjuangan di jalan Allah swt. Namun yang amat disayangkan adalah begitu banyak orang yang telah berhaji, namun ia menjadi pasif dan diam saja, padahal banyak hal yang harus dilakukan dan diperbaiki dalam kehidupan ini.
Dengan pengaruh positif yang sedemikian besar dari haji yang mabrur seperti tergambar di atas, apalagi bila terbawa sampai mati, maka wajarlah bila Rasulullah saw menyatakan bahwa “haji yang mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Ini berarti, bila sesudah haji meskipun dilakukan berkali-kali tapi tidak nampak pengaruh poisitifnya, bisa jadi surga masih jauh bagi orang yang demikian.

Sumber : http://info-jic.org/life-and-style-mainmenu-31/buku-saku/35-buku-saku/274-haji-mabrur-bukan-di-makkah-dan-madinah



fb comments

0 komentar:

Posting Komentar